Rabu, 05 Agustus 2009

LPJ Ketua Umum PK IMM DY-ISHUM UIN SUNAN KALIJAGA 2008/2009

LAPORAN KEBIJAKAN PK IMM DAKWAH-ISHUM UIN SUNAN KALIJAGA CABANG KABUPATEN SLEMAN

KETUA UMUM
Pada musyawarah komisariat yang lalu, tepatnya tanggal 26-27 Agustus 2008 silam secara demokratis teman-teman seperjuangan saya di komisariat ini memberikan kepercayaan pada saya untuk menahkodai kapal komisariat ini. Dengan harapan yang tinggi dalam menatap masa depan, menggenggam ambisi untuk membangkitkan kembali komisariat yang telah mengalami masa kurang mengenakkan pada masa jabat sebelumnya (2007/2008) kami selaku ketua umum memiliki mimpi agar kami tidak terjatuh untuk yang kedua kalinya.
Mungkin dapat kita bayangkan, bagaimana kami yang baru saja menyekesaikan perkaderan dasar (DAD) tidak mendapatkan pengarahan dan anyoman yang layak tentang bagaimana dan jalan apa yang harus kami tempuh dalam menjadi aktifis dalam ikatan ini dari para pemimpin kami ketika itu, kemudia tidak sampai setahun setelah DAD kami harus menjalankan roda kepemimpinan komisariat.
Akan tetapi kami selaku ketua umum yakin bahwa angkatan kami bukanlah sekumpulan pecundang, kami dapat bangkit dan bersaing dengan komisariat-komisariat lain yang mungkin, bahkan saya yakini, mendapatkan pengarahan yang lebih maksimal dari para pendahulu mereka untuk bergerak dalam ikatan ini. Kami selaku ketua umum tidak ingin mengulangi sejarah kelam, kami selakun ketua umum tidak ingin komisariat ini karam, dan dengan segala kekurangan dan kelebihannya saat ini kami masih berdiri disini sama seperti kurang lebih seperti setahun yang lalu untuk mempertanggung jawabkan segala kebijakan kami kurang lebih setahun kepemimpnan kami.

Pada rapat kerja yang kami lakukan sebulan setelah susunan kepengurusan kami terbentuk, maka lahirlah beberapa kewajiban yang harus kami lakukan selaku keetua umum, antara lain :

1. Koordinasi dan konsolidasi kader.
2. Pertemuan pengurus harian.
3. Pertemuan seluruh anggota.

Pada tiga kewaijban pertama yang kami sebutkan selaku ketua umum, kami melakukan berbagai pendekatan untuk melakukannya, mulai dari yang bersifat formal hingga yang informal.
Ada pun yang bersifat formal kami meminta agar seluruh anggota dapat berkumpul pada hari yang kami sepakatai, yaitu hari senin dan kamis, ada pun jika sekiranya benar-benar ada hal yang mendesak kami bias saja mengajak teman-teman seperjuangan kami di komisariat ini untuk berkumpul di luar waktu kesepakatan ini. Ada pun cara informal yang kami lakukan adalah dengan elalui pendekatan-pendekatan cultural.
Dalam melakukan pendekatan-pendekatan ini, kami tidak hanya menekankan pada para kader yang merupakan pengurus dan eks DAD saja, bahkan kami selaku ketua umum juga kerap mengundang para pendahulu yang “melepaskan kami begitu saja” untuk ikut bergabung bersama kami. Dan tidak jarang dari perteuan-pertemuan informal ketua umum mendapatkan sebuah gagasan menarik dari kader yang selama ini terkesan “pelengkap” tiap kali kami kumpul, dimana gagasan itu kami harap dapat dimaksimalkan oleh pimpinan selanjutnya.
Adapun hambatan yang kami dapatkan dalam menjalankan tiga kewajiban ini adalah, adanya kesibukan yang dimiliki oleh para kader kami yang sekiranya harus kami maklumi, sebagai contoh ada kader kami yang aktif dan menjadi pengurus dalam organisasi elain IMM, dan Syukurnya masih merupakan ortom Muhammadiyah, seperti IPM dan KOKAM. Ada pun teman-teman yang “hilang” tanpa kabar memang kami sayangkan, dan hanya kami beri teguran ringan berupa pertanyaan singkat pada yang bersangkutan saat kami bertemu di lain hari perihal ketidak hadirannya, kamii tidak memberikan hukuman tertentu karena memang kami selaku ketua umum memang tidak pernah memberikan sanksi yang tegas pada tiap kader yang mangkir saat pertemuan.
Maka saran yang kami berikan pada ketua umum selanjutnya siapa pun yang terpilih kelak, dalam sebuah seminar yang pernah saya ikuti salah seorang pembicara pernah mengatakan ; “organisasi yang sering berkumpul dengan seluruh anggotanya adalah sebuah organisasi yang cepat berkembang”, oleh karena itu jika siapa pun anda ketika terpilih menggantikan kami selaku ketua umum bertindak tegaslah pada anggota, dalam hal ini ketika megundang untuk berkumpul melakukan rapat konsolidasi dan koordinasi, tapi ingat bahwa tegas tidak selalu dengan cara kasar dan menyinggung perasaan yang bersangkutan.

4. konsolidasi dengan Komisariat lain
Kami selaku ketua umum kerap berkonsolidasi dengan komisariat-komisariat lain guna meneguhkan dan membentangkan layar ikatan ini. Kami selaku ketua umum alhamdulillah belum pernah mangkir dalam pertemuan seluruh PK yang di koordinir oleh KORKOM ketika masih dagawangi oleh IMMawan Muh Ramli, kami kerap melakukan konsolidasi yang bersifat “serius tapi santai” di warung kopi ‘Blandongan’ pada waktu-waktu yang di tentukan oleh KORKOM.
Selain dibawah pengawasan KORKOM ketua umum juga suka bertukar ilmu dan berbagi pengalaman dengan PK dari komisariat lain untuk menambah wawasan mengarungu dunia samudra aktifis yang bergelombang.
Kesulitan yang ketua umum dapatkan alhamdulillah bukan merupakan perkara yang berarti dan dapat merusak acara konsolidasi antar komisariat, saya bersyukur karena teman-teman dari PK komisariat lain dapat berbagi ilmu dan pengalaman dengan kami.
Maka saran saya pada ketua umum selanjutnya, siapa pun anda teruslah melakukan konsolidasi dengan PK komisariat yang lain, karena anda bisa mendapatkan “ilham” dalam menahkodai kapal komisariat ini, dan jika, sebut saja KORKOM, tidak maksimal dalam mewadahinya maka jangan ragu untuk anda ambil alih.

5. Konsolidasi Dengan Organisasi Lain
Ketua umum melakukan konsolidasi terhadap organisasi lain dengan harapan untuk menambah dan mempererat persaudaraan kita sebagai umat manusia pada umumnya dan sebagai sesama muslim pada khususnya.lebih dari itu agar dari konsolidasi tersebut dapat membantu kami menjalankan program kerja yang telah ikatan ini sepakati bersama. Ada pun konsolidasi yang ketua umum lakukan adalah ;
- Konsolidasi dengan Tim kesehatana as-Syifaa, ketua umum melakukan konsolidasi ini dengan harapan dapat membantu, dalam hal ini Bidang Dakwah & Sosial, menjalankan program kerja mereka.
- Konsolidasi dengan HMI DIPO, konsolidasi ini ketua umum lakukan untuk membantu, dalam hal ini khususnya Bidang Hikmah, dalam menghadapi pemilwa di Fakultas ISHUM.
- Konsolidasi dengan PMII, konsolidasi ini ketua umum lakukan juga dalam suasana pemilwa dengan tujuan agar kader ikatan ini dari Fakultas Dakwah mendapat jatah dalam BEM maupum SEMA.

Kesulitan yang ketua umum alami adalah sulitnya menemukan kata sepakat dengan organisasi lain tersebut, dan ketika kami telah menemukan kata sepakat, kader yang kami harap dapat mengisi tempat yang telah kami sepakati tersebut tenyata tidak siap, dan perundingan yang telah kami laksanakan secara alot jadi tersia-sia.
Maka ketua umum sarankan, bahkan kami minta, pertama pada ketua umum berikutnya siapa pun anda, dalam pemilwa anda harus bias lebih mencari celah untuk mendapatkan kesepakatan yang menguntungkan kita, jangan pernah menyerah ketika menemukan perundingan yang a lot. Dan untuk para kader, agar para kader ikatan dapat benar-benar meresapi makna dari tema musykom kali ini, agar kalian tidak lagi menyia-nyiakan kesempatan yang mungkin tidak akan datang lagi .

6. Musykom
Dengan menunjuk IMMawan malik hidayatulloh selaku ketua panitia pelaksana, IMMawan Irfan Zakki selaku kordinator Tim Materi, dan IMMawan Irkham selaku kordinator Tim panlih, saat ini kami ada disini insya Allah siap mempertanggung jawabkan kepemimpinan kami masa bakti 2008/2009.
Kesulitan yang ketua umum hadapi adalah berhubung saat kami merancang musykom ini pada saat liburan panjang maka teman-teman kami yang berada diluar DIY tidak dapat masimal membantu dalam menyukseskan musykom kali ini, dan yang cukup saya sayangkan belum dapat diindahkannya himbauan saya mengenai musykom pada teman-teman yang sedang berada di kampung halaman. Akan tetapi beruntung, para kader baru dan orang-orang yang telah saya beri amanah lainnya saya rasa berhak menerima penghormatan dari usahanya dalam menyukseskan acara ini.
Saran kami selaku ketua umum adalah, sekali lagi meminta pada ketua umum berikutnya siapa pun anda, untuk bisa tegas dalam mensikapi para kader yang mangkir untuk alasan yang sekiranya kurang bias diterima, setidaknya berupa surat peringatan.

Teruslah bejuang saudara-saudara ku,. Untuk dirimu, bangsamu, dan Tuhanmu. Masih banyak yang harus kita selesaikan, masih banyak pula yang harus kita perbaiki. Maksimalkan akalmu sebagai kemudimu, dan al Qur’an sebagai penuntunmu, ingatlah sabda rasul SAW “akan tiba suatu masa dimana Al Qur’an akan berpisah dengan kepemimpinan, dan ketika hari itu tiba janganlah kamu perpisah daripadanya (al qur’an)”

Senin, 04 Mei 2009

Hapus Kemiskinan Dengan Syariah

Syariat Islam Menyelesaikan Kemiskinan

Pendahuluan

Kemiskinan adalah fenomena yang begitu mudah dijumpai di mana-mana. Tak hanya di desa-desa, tapi juga di kota-kota. Di balik kemegahan gedung-gedung pencakar langit di Jakarta, misalnya, tidak terlalu sulit kita jumpai rumah-rumah kumuh berderet di bantaran sungai, atau para pengemis yang berkeliaran di perempatan-perempatan jalan.

Harus diakui, Kapitalisme memang telah gagal menyelesaikan problem kemiskinan. Alih-alih dapat menyelesaikan, yang terjadi justru menciptakan kemiskinan.

Pengertian Kemiskinan Menurut Islam

Menurut bahasa, miskin berasal dari bahasa Arab yang sebenarnya menyatakan kefakiran yang sangat. Allah Swt. menggunakan istilah itu dalam firman-Nya:

]أَوْ مِسْكِينًا ذَا مَتْرَبَةٍ[

“…atau orang miskin yang sangat fakir” (QS al-Balad [90]: 16).

Adapun kata fakir yang berasal dari bahasa Arab: al-faqru, berarti membutuhkan (al-ihtiyaaj). Allah Swt. berfirman:

]فَقَالَ رَبِّ إِنِّي لِمَا أَنْزَلْتَ إِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيرٌ[

…lalu dia berdoa, “Ya Rabbi, sesungguhnya aku sangat membutuhkan suatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku” (QS al-Qashash [28]:24).

Dalam pengertian yang lebih definitif, Syekh An-Nabhani mengategorikan yang punya harta (uang), tetapi tak mencukupi kebutuhan pembelanjaannya sebagai orang fakir. Sementara itu, orang miskin adalah orang yang tak punya harta (uang), sekaligus tak punya penghasilan. (Nidzamul Iqtishadi fil Islam, hlm. 236, Darul Ummah-Beirut). Pembedaan kategori ini tepat untuk menjelaskan pengertian dua pos mustahiq zakat, yakni al-fuqara (orang-orang faqir) dan al-masakiin (orang-orang miskin), sebagaimana firman-Nya dalam QS at-Taubah [9]: 60.

Kemiskinan atau kefakiran adalah suatu fakta, yang dilihat dari kacamata dan sudut mana pun seharusnya mendapat pengertian yang sesuai dengan realitasnya. Sayang peradaban Barat Kapitalis, pengemban sistem ekonomi Kapitalis, memiliki gambaran/fakta tentang kemiskinan yang berbeda-beda. Mereka menganggap bahwasannya kemiskinan adalah ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan atas barang ataupun jasa secara mutlak. Karena kebutuhan berkembang seiring dengan berkembang dan majunya produk-produk barang ataupun jasa, maka –mereka menganggap–usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan atas barang dan jasa itu pun mengalami perkembangan dan perbedaan.

Akibatnya, standar kemiskinan/kefakiran di mata para Kapitalis tidak memiliki batasan-batasa yang fixed. Di AS atau di negara-negara Eropa Barat misalnya, seseorang yang tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan sekundernya sudah dianggap miskin. Pada saat yang sama, di Irak, Sudan, Bangladesh misalnya, seseorang yang tidak dapat memenuhi kebutuhan sekundernya, tidak dikelompokkan dalam kategori fakir/miskin. Perbedaan-perbedaan ini–meski fakta tentang kemiskinan itu sama saja di mana pun–akan mempengaruhi mekanisme dan cara-cara pemecahan masalah kemiskinan.

Berbeda halnya dengan pandangan Islam, yang melihat fakta kefakiran/kemiskinan sebagai perkara yang sama, baik di Eropa, AS maupun di negeri-negeri Islam. Bahkan, pada zaman kapan pun, kemiskinan itu sama saja hakikatnya. Oleh karena itu, mekanisme dan cara penyelesaian atas problem kemiskinan dalam pandangan Islam tetap sama, hukum-hukumnya fixed, tidak berubah dan tidak berbeda dari satu negeri ke negeri lainnya. Islam memandang bahwa kemiskinan adalah fakta yang dihadapi umat manusia, baik itu muslim maupun bukan muslim.

Islam memandang bahwa masalah kemiskinan adalah masalah tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan primer secara menyeluruh. Syariat Islam telah menentukan kebutuhan primer itu (yang menyangkut eksistensi manusia) berupa tiga hal, yaitu sandang, pangan, dan papan. Allah Swt. berfirman:

]وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ[

“Kewajiban ayah adalah memberikan makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf” (QS al-Baqarah [2]:233).

]أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ[

“Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal, sesuai dengan kemmpuanmu” (QS ath-Thalaaq [65]:6).

Rasulullah saw. bersabda:

“Ingatlah, bahwa hak mereka atas kalian adalah agar kalian berbuat baik kepada mereka dalam (memberikan) pakaian dan makanan” (HR Ibnu Majah).

Dari ayat dan hadis di atas dapat di pahami bahwa tiga perkara (yaitu sandang, pangan, dan papan) tergolong pada kebutuhan pokok (primer), yang berkait erat dengan kelangsungan eksistensi dan kehormatan manusia. Apabila kebutuhan pokok (primer) ini tidak terpenuhi, maka dapat berakibat pada kehancuran atau kemunduran (eksistensi) umat manusia. Karena itu, Islam menganggap kemiskinan itu sebagai ancaman yang biasa dihembuskan oleh setan, sebagaimana firman Allah Swt.“Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan” (TQS al- Baqarah [2]:268).

Dengan demikian, siapa pun dan di mana pun berada, jika seseorang tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok (primer)nya, yaitu sandang, pangan, dan papan, dapat digolongkan pada kelompok orang-orang yang fakir ataupun miskin. Oleh karena itu, setiap program pemulihan ekonomi yang ditujukan mengentaskan fakir miskin, harus ditujukan kepada mereka yang tergolong pada kelompok tadi. Baik orang tersebut memiliki pekerjaan, tetapi tetap tidak dapat memenuhi kebutuhan pokoknya dengan cara yang makruf, yakni fakir, maupun yang tidak memiliki pekerjaan karena PHK atau sebab lainnya, yakni miskin.

Jika tolok ukur kemiskinan Islam dibandingkan dengan tolok ukur lain, maka akan didapati perbedaan yang sangat mencolok. Tolok ukur kemiskinan dalam Islam memiliki nilai yang jauh lebih tinggi dari tolok ukur lain. Sebab, tolok ukur kemisknan dalam Islam mencakup tiga aspek pemenuhan kebutuhan pokok bagi individu manusia, yaitu pangan, sandang, dan pangan. Adapun tolok ukur lain umumnya hanya menitikberatkan pada pemenuhan kebutuhan pangan semata. Tolok ukur kemiskinan dari berbagai versi dan perbandingannya dapat dilihat pada tabel berikut.

Penyebab Kemiskinan

Banyak ragam pendapat mengenai sebab-sebab kemiskinan. Namun, secara garis besar dapat dikatakan ada tiga sebab utama kemiskinan. Pertama, kemiskinan alamiah, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh kondisi alami seseorang; misalnya cacat mental atau fisik, usia lanjut sehingga tidak mampu bekerja, dan lain-lain. Kedua, kemiskinan kultural, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh rendahnya kualitas SDM akibat kultur masyarakat tertentu; misalnya rasa malas, tidak produktif, bergantung pada harta warisan, dan lain-lain. Ketiga, kemiskinan stuktural, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh kesalahan sistem yang digunakan negara dalam mengatur urusan rakyat.

Dari tiga sebab utama tersebut, yang paling besar pengaruhnya adalah kemiskinan stuktural. Sebab, dampak kemiskinan yang ditimbulkan bisa sangat luas dalam masyarakat. Kemiskinan jenis inilah yang menggejala di berbagai negara dewasa ini. Tidak hanya di negara-negara sedang berkembang, tetapi juga di negara-negara maju.

Kesalahan negara dalam mengatur urusan rakyat, hingga menghasilkan kemiskinan struktural, disebabkan oleh penerapan sistem Kapitalisme yang memberikan kesalahan mendasar dalam beberapa hal, antara lain:

Peran Negara

Menurut pandangan kapitalis, peran negara secara langsung di bidang sosial dan ekonomi, harus diupayakan seminimal mungkin. Bahkan, diharapkan negara hanya berperan dalam fungsi pengawasan dan penegakan hukum semata. Lalu, siapa yang berperan secara langsung menangani masalah sosial dan ekonomi? Tidak lain adalah masyarakat itu sendiri atau swasta. Karena itulah, dalam masyarakat kapitalis kita jumpai banyak sekali yayasan-yayasan. Di antaranya ada yang bergerak dibidang sosial, pendidikan, dan sebagainya. Selain itu, kita jumpai pula banyak program swatanisasi badan usaha milik negara.

Peran negara semacam ini, jelas telah menjadikan negara kehilangan fungsi utamanya sebagai pemelihara urusan rakyat. Negara juga akan kehilangan kemampuannya dalam menjalankan fungsi pemelihara urusan rakyat. Akhirnya, rakyat dibiarkan berkompetisi secara bebas dalam masyarakat. Realitas adanya orang yang kuat dan yang lemah, yang sehat dan yang cacat, yang tua dan yang muda, dan sebagainya, diabaikan sama sekali. Yang berlaku kemudian adalah hukum rimba, siapa yang kuat dia yang menang dan berhak hidup.

Kesenjangan kaya miskin di dunia saat ini adalah buah dari diterapkannya sistem Kapitalisme yang sangat individualis itu. Dalam pandangan kapitalis, penanggulangan kemiskinan merupakan tanggung jawab si miskin itu sendiri, kemiskinan bukan merupakan beban bagi umat, negara, atau kaum hartawan. Sudah saatnya kita mencari dan menerapkan sistem alternatif selain Kapitalisme, tanpa perlu ada tawar-menawar lagi.

Cara Islam Mengatasi Kemiskinan

Allah Swt. sesungguhnya telah menciptakan manusia, sekaligus menyediakan sarana-sarana untuk memenuhi kebutuhannya. Bahkan, tidak hanya manusia; seluruh makhluk yang telah, sedang, dan akan diciptakan, pasti Allah menyediakan rezeki baginya. Tidaklah mungkin, Allah menciptakan berbagai makhluk, lalu membiarkan begitu saja tanpa menyediakan rezeki bagi mereka. Allah Swt. berfirman:

]اللهُ الَّذِي خَلَقَكُمْ ثُمَّ رَزَقَكُمْ[

“Allahlah yang menciptakan kamu, kemudian memberikan rezeki” (QS ar-Ruum [30]: 40).

]وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي اْلأَرْضِ إِلاَّ عَلَى اللهِ رِزْقُهَا[

“Tidak ada satu binatang melata pun di bumi, selain Allah yang memberi rezekinya” (QS Hud [11]: 6).

Jika demikian halnya, mengapa terjadi kemiskinan? Seolah-olah kekayaan alam yang ada, tidak mencukupi kebutuhan manusia yang populasinya terus bertambah?

Dalam pandangan ekonomi kapitalis, problem ekonomi disebabkan oleh adanya kelangkaan barang dan jasa, sementara populasi dan kebutuhan manusia terus bertambah. Akibatnya, sebagian orang terpaksa tidak mendapat bagian, sehingga terjadilah kemiskinan. Pandangan ini jelas keliru, batil, dan bertentangan dengan fakta.

Secara i’tiqadi, jumlah kekayaan alam yang disediakan oleh Allah Swt. untuk manusia pasti mencukupi. Meskipun demikian, apabila kekayaan alam ini tidak dikelola dengan benar, tentu akan terjadi ketimpangan dalam distribusinya. Jadi, faktor utama penyebab kemiskinan adalah buruknya distribusi kekayaan. Di sinilah pentingnya keberadaan sebuah sistem hidup yang sahih dan keberadaan negara yang menjalankan sistem tersebut.

Islam adalah sistem hidup yang sahih. Islam memiliki cara yang khas dalam menyelesaikan masalah kemiskinan. Syariat Islam memiliki banyak hukum yang berkaitan dengan pemecahan masalah kemiskinan; baik kemiskinan alamiah, kultural, maupun struktural. Namun, hukum-hukum itu tidak berdiri sendiri, tetapi memiliki hubungan sinergis dengan hukum-hukum lainnya. Jadi, dalam menyelesaikan setiap masalah, termasuk kemiskinan, Islam menggunakan pendekatan yang bersifat terpadu. Bagaimana Islam mengatasi kemiskinan, dapat dijelaskan sebagai berikut.

Jaminan Pemenuhan Kebutuhan Primer

Islam telah menetapkan kebutuhan primer manusia terdiri atas pangan, sandang, dan papan. Terpenuhi-tidaknya ketiga kebutuhan tersebut, selanjutnya menjadi penentu miskin-tidaknya seseorang. Sebagai kebutuhan primer, tentu pemenuhannya atas setiap individu, tidak dapat ditawar-tawar lagi. Oleh karena itu, Islam memberikan jaminan atas pemenuhan kebutuhan ini.

Adanya jaminan pemenuhan kebutuhan primer bagi setiap individu, tidak berarti negara akan membagi-bagikan makanan, pakaian, dan perumahan kepada siapa saja, setiap saat, sehingga terbayang rakyat bisa bermalas-malasan karena kebutuhannya sudah dipenuhi. Ini anggapan yang keliru. Jaminan pemenuhan kebutuhan primer dalam Islam diwujudkan dalam bentuk pengaturan mekanisme-mekanisme yang dapat menyelesaikan masalah kemiskinan. Mekanisme tersebut adalah:

Mewajibkan Laki-laki Memberi Nafkah kepada Diri dan Keluarganya.

Islam mewajibkan laki-laki yang mampu dan membutuhkan nafkah, untuk bekerja dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Allah Swt. berfirman:

]فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ[

“Maka berjalanlah ke segala penjuru, serta makanlah sebagian dari rezeki-Nya” (QS al-Mulk [67]: 15).

Dari Abu Hurairah, dia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda:

“Salah seorang di antara kalian pergi pagi-pagi mengumpulkan kayu bakar, lalu memikulnya dan berbuat baik dengannya (menjualnya), sehingga dia tidak lagi memerlukan pemberian manusia, maka itu baik baginya daripada dia mengemis pada seseorang yang mungkin memberinya atau menolaknya”.[1]

Ayat dan hadis di atas menunjukan adanya kewajiban bagi laki-laki untuk bekerja mencari nafkah. Bagi para suami, syara’ juga mewajibkan mereka untuk memberi nafkah kepada anak dan istrinya. Allah Swt. berfirman:

]وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ[

“Kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara makruf” (QS al-Baqarah [2]: 233).

]أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ[

“Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal, sesuai dengan kemampuanmu” (QS ath-Thalaq [65]: 6).

Jadi jelas, kepada setiap laki-laki yang mampu bekerja, pertama kali Islam mewajibkan untuk berusaha sendiri dalam rangka memenuhi kebutuhannya dan keluarganya. Adapun terhadap wanita, Islam tidak mewajibkan mereka untuk bekerja, tetapi Islam mewajibkan pemberian nafkah kepada mereka.

Mewajibkan Kerabat Dekat untuk Membantu Saudaranya

Realitas menunjukkan bahwa tidak semua laki-laki punya kemampuan untuk bekerja mencari nafkah. Mereka kadang ada yang cacat mental atau fisik, sakit-sakitan, usianya sudah lanjut, dan lain-lain. Semua ini termasuk ke dalam orang-orang yang tidak mampu bekerja. Jika demikian keadaannya, lalu siapa yang akan menanggung kebutuhan nafkahnya?

Dalam kasus semacam ini, Islam mewajibkan kepada kerabat dekat yang memiliki hubungan darah, untuk membantu mereka. Allah Swt. berfirman:

]وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لاَ تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلاَّ وُسْعَهَا لاَ تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلاَ مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ[

“Kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada pada ibu dengan cara yang makruf. Seseorang tidak dibebani selain menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya, dan seorang ayah karena anaknya. Waris pun berkewajiban demikian…” (QS al-Baqarah [2]: 233).

Maksudnya, seorang waris berkewajiban sama seperti seorang ayah, dari segi nafkah dan pakaian. Yang dimaksud waris di sini, bukan berarti orang yang secara langsung bisa mewarisi, melainkan yang dimaksud adalah siapa saja yang berhak mendapatkan waris.[2]

Jadi jelas, jika seseorang secara pribadi tidak mampu memenuhi kebutuhannya, karena alasan-alasan di atas, maka kewajiban memenuhi nafkah, beralih ke kerabat dekatnya.

Jika kerabat dekat diberi kewajiban untuk membantu saudaranya yang tidak mampu, bukankah hal ini akan menyebabkan kemiskinan para keluarganya dan dapat berdampak pada menurunnya taraf kehidupan mereka? Tidak dapat dikatakan demikian! Sebab, nafkah tidak diwajibkan oleh syara’ kepada keluarga, kecuali apabila terdapat kelebihan harta. Orang yang tidak memiliki kelebihan, tidak wajib baginya memberi nafkah. Sebab, memberi nafkah tidak wajib kecuali atas orang yang mampu memberinya.

Orang yang mampu menurut syara’ adalah orang yang memiliki harta lebih dari kebutuhan-kebutuhuan primer (al-hajat al-asasiyah), dan kebutuhan pelengkap (al-hajat al-kamaliyah), menurut standar masyarakat sekitarnya. Rasulullah saw. bersabda:

“Sebaik-baik sedekah adalah harta yang berasal dari selebihnya keperluan (HR Imam Bukhari dari Abu Hurairah).

“Tangan di atas (memberi) itu lebih baik dari tangan di bawah (meminta), mulailah dari orang yang menjadi tanggunganmu, dan sebaik-baik sedekah adalah dari selebihnya keperluan” (HR Nasa’i, Muslim, dan Ahmad dari Abu Hurairah).

Yang dimaksud al-Ghina (selebihnya keperluan) di sini adalah harta ketika manusia (dengan keadaan yang dimilikinya) sudah tidak butuh lagi apa-apa buat mencukupi level pemenuhan kebutuhan primer (al-hajat al-asasiyah) dan kebutuhan pelengkap (al-hajat al-kamaliyah), menurut standar masyarakat sekitarnya.[3]

Mewajibkan Negara untuk Membantu Rakyat Miskin

Bagaimana jika seseorang yang tidak mampu tersebut tidak memiliki kerabat? Atau dia memiliki kerabat, tetapi hidupnya pas-pasan? Dalam kondisi semacam ini, kewajiban memberi nafkah beralih ke Baitul Mal (kas negara). Dengan kata lain, negara melalui Baitul Mal, berkewajiban untuk memenuhi kebutuhannya. Rasulullah Saw. pernah bersabda:

“Siapa saja yang meninggalkan harta, maka harta itu untuk ahli warisnya, dan siapa saja yang meninggalkan ‘kalla’, maka dia menjadi kewajiban kami” (HR Imam Muslim).

Yang dimaksud kalla adalah orang yang lemah, tidak mempunyai anak, dan tidak mempunyai orang tua.

Anggaran yang digunakan negara untuk membantu individu yang tidak mampu, pertama-tama diambilkan dari kas zakat. Allah Swt. berfirman:

]إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ[

“Sedekah (zakat) itu hanya diperuntukkan bagi para fakir miskin…” (QS at-Taubah [9]: 60).

Apabila harta zakat tidak mencukupi, maka negara wajib mencarinya dari kas lain, dari Baitul Mal.

Mewajibkan Kaum Muslim untuk Membantu Rakyat Miskin

Apabila di dalam Baitul Mal tidak ada harta sama sekali, maka kewajiban menafkahi orang miskin beralih ke kaum muslim secara kolektif. Allah Swt. berfirman:

]وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ[

“Di dalam harta mereka, terdapat hak bagi orang miskin yang meminta-minta yang tidak mendapatkan bagian” (QS adz-Dzariyat [51]: 19).

Rasulullah saw. juga bersabda:

“Siapa saja yang menjadi penduduk suatu daerah, lalu di antara mereka terdapat seseorang yang kelaparan, maka perlindungan Allah Tabaraka Wata’ala terlepas dari mereka” (HR Imam Ahmad).

“Tidaklah beriman kepada-Ku, siapa saja yang tidur kekenyangan, sedangkan tetangganya kelaparan, sementara dia mengetahuinya” (HR al-Bazzar).

Secara teknis, hal ini dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, kaum muslim secara individu membantu orang-orang yang miskin. Kedua, negara mewajibkan dharibah (pajak) kepada orang-orang kaya hingga mencukupi kebutuhan untuk membantu orang miskin. Jika dalam jangka waktu tertentu, pajak tersebut tidak diperlukan lagi, maka pemungutannya oleh negara harus dihentikan.

Demikianlah mekanisme bagaimana Islam mengatasi masalah kemiskinan secara langsung. Pertama, orang yang bersangkutan diwajibkan untuk mengusahakan nafkahnya sendiri. Apabila tidak mampu, maka kerabat dekat yang memiliki kelebihan harta wajib membantu. Apabila kerabat dekatnya tidak mampu, atau tidak mempunyai kerabat dekat, maka kewajiban beralih ke Baitul Mal dari kas zakat. Apabila tidak ada, wajib diambil dari Baitul Mal, dari kas lainnya. Apabila tidak ada juga, maka kewajiban beralih ke seluruh kaum muslim. Secara teknis, hal ini dapat dilakukan dengan cara kaum muslim secara individu membantu orang yang miskin; dan negara memungut dharibah (pajak) dari orang-orang kaya hingga mencukupi.

Pengaturan Kepemilikan

Pengaturan kepemilikan memiliki hubungan yang sangat erat dengan masalah kemiskinan dan upaya untuk mengatasinya. Syariat Islam telah mengatur masalah kepemilikan ini sedemikian rupa sehingga dapat mencegah munculnya masalah kemiskinan. Bahkan, pengaturan kepemilikan dalam Islam, memungkinkan masalah kemiskinan dapat diatasi dengan sangat mudah.

Pengaturan kepemilikan yang dimaksud mencakup tiga aspek, yaitu jenis-jenis kepemilikan, pengelolaan kepemilikan, dan pendistribusian kekayaan di tengah-tengah masyarakat. Bagaimana pengaturan kepemilikan ini dapat mengatasi masalah kemiskinan, dapat dijelaskan secara ringkas sebagai berikut.

Jenis-jenis Kepemilikan

Syariat Islam mendefinisikan kepemilikan sebagai izin dari asy-Syari’ (Pembuat Hukum) untuk memanfaatkan suatu zat atau benda. Terdapat tiga macam kepemilikan dalam Islam, yaitu kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara.

•Kepemilikan individu adalah izin dari Allah Swt.. kepada individu untuk memanfaatkan sesuatu

Allah Swt. telah memberi hak kepada individu untuk memiliki harta, baik yang bergerak maupun tidak bergerak. Tentu sepanjang harta tersebut diperoleh melalui sebab-sebab yang dibolehkan, misalnya hasil kerja, warisan, pemberian negara, hadiah, dan lain-lain.

Adanya kepemilikan individu ini, menjadikan seseorang termotivasi untuk berusaha mencari harta, guna mencukupi kebutuhannya. Sebab, secara naluriah manusia memang memiliki keinginan untuk memiliki harta. Dengan demikian, seseorang akan berusaha agar kebutuhannya tercukupi. Dengan kata lain, dia akan berusaha untuk tidak hidup miskin.

Kepemilikan umum adalah izin dari Allah Swt. kepada jamaah (masyarakat) untuk secara bersama-sama memanfaatkan sesuatu

Aset yang tergolong kepemilikan umum ini, tidak boleh sama sekali dimiliki secara individu atau dimonopoli oleh sekelompok orang. Aset yang termasuk jenis ini adalah: pertama, segala sesuatu yang menjadi kebutuhan vital masyarakat, dan akan menyebabkan persengkataan jika ia lenyap[4], misalnya padang rumput, air, pembangkit listrik, dan lain-lain; kedua, segala sesuatu yang secara alami tidak bisa dimanfaatkan hanya oleh individu[5], misalnya sungai, danau, laut, jalan umum, dan lain-lain; ketiga, barang tambang yang depositnya sangat besar, misalnya emas, perak, minyak, batu bara, dan lain-lain.

Dalam praktiknya, kepemilikan umum ini dikelola oleh negara, dan hasilnya (keuntungannya) dikembalikan kepada masyarakat. Bisa dalam bentuk harga yang murah, atau bahkan gratis, dan lain-lain. Adanya pengaturan kepemilikan umum semacam ini, jelas menjadikan aset-aset startegis masyakat dapat dinikmati bersama-sama. Tidak dimonopoli oleh seseorang atau sekelompok orang sehingga yang lain tidak memperoleh apa-apa, sebagaimana yang tejadi dalam sistem kapitalis. Dengan demikian, masalah kemiskinan dapat dikurangi, bahkan diatasi dengan adanya pengaturan kepemilikan umum semacam ini.

Kepemilikan negara adalah setiap harta yang menjadi hak kaum muslim, tetapi hak pengelolaannya diwakilkan pada khalifah (sesuai dengan ijtihadnya) sebagai kepala negara

Aset yang termasuk jenis kepemilikan ini di antaranya adalah fa’i, kharaj, jizyah, atau pabrik-pabrik yang dibuat negara, misalnya, pabrik mobil, mesin-mesin, dan lain-lain.

Adanya kepemilikan negara dalam Islam, jelas menjadikan negara memiliki sumber-sumber pemasukan, dan aset-aset yang cukup banyak. Dengan demikian, negara akan mampu menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pengatur urusan rakyat. Termasuk di dalamnya adalah memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan rakyat miskin.

Pengelolaan Kepemilikan

Pengelolaan kepemilikan dalam Islam mencakup dua aspek, yaitu pengembangan harta (tanmiyatul mal) dan penginfaqkan harta (infaqul mal).

Baik dalam pengembangan harta maupun penginfaqkan harta, Islam telah mengatur dengan berbagai hukum. Islam, misalnya, melarang seseorang untuk mengembangkan hartanya dengan cara ribawi atau melarang seseorang bersifat kikir, dan sebagainya. Atau misalnya, Islam mewajibkan seseorang untuk menginfaqkan (menafkahkan) hartanya untuk anak dan istrinya, untuk membayar zakat, dan lain-lain. Jelaslah, bahwa dengan adanya pengaturan pengelolaan kepemilikan, akan menjadikan harta itu beredar, perekonomian menjadi berkembang, dan kemiskinan bisa diatasi.

Distribusi Kekayaan di Tengah-tengah Masyarakat

Buruknya distribusi kekayaan di tengah-tengah masyarakat telah menjadi faktor terpenting penyebab terjadinya kemiskinan. Oleh karena itu, masalah pengaturan distribusi kekayaan ini, menjadi kunci utama penyelesaian masalah kemiskinan.

Dengan mengamati hukum-hukum syara’ yang berhubungan dengan masalah ekonomi, akan kita jumpai secara umum hukum-hukum tersebut senantiasa mengarah pada terwujudnya distribusi kekayaan secara adil dalam masyarakat. Apa yang telah diuraikan sebelumnya tentang jenis-jenis kepemilikan dan pengelolaan kepemilikan, jelas sekali secara langsung atau tidak langsung mengarah kepada terciptanya distribusi kekayaan.

Kita juga dapat melihat, misalnya, dalam hukum waris. Secara terperinci syariat mengatur kepada siapa harta warisan harus dibagikan. Jadi, seseorang tidak bisa dengan bebas mewariskan hartanya kepada siapa saja yang dikehendaki. Sebab, bisa berpotensi pada distribusi yang tidak adil.

Lebih dari itu, negara berkewajiban secara langsung melakukan pendistribusian harta kepada individu rakyat yang membutuhkan. Misalnya, negara memberikan sebidang tanah kepada soseorang yang mampu untuk mengelolanya. Bahkan, setiap individu berhak menghidupkan tanah mati, dengan menggarapnya; yang dengan cara itu dia berhak memilikinya. Sebaliknya, negara berhak mengambil tanah pertanian yang ditelantarkan pemiliknya selama tiga tahun berturut-turut. Semua itu menggambarkan, bagaimana syariat Islam menciptakan distribusi kekayaan, sekaligus menciptakan produktivitas sumber daya alam dan sumber daya manusia, yang dengan sendirinya dapat mengatasi masalah kemiskinan.

Penyediaan Lapangan Kerja

Menyediakan lapangan pekerjaan merupakan kewajiban negara. Hal ini menyandar pada keumuman hadis Rasululah saw.:

“Seorang iman (pemimpin) adalah bagaikan penggembala, dan dia akan diminta pertanggungjawaban atas gembalaannya (rakyatnya)” (HR Bukhari dan Muslim).

Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa Rasulullah saw. pernah memberikan dua dirham kepada seseorang. Kemudian Beliau saw. bersabda:

“Makanlah dengan satu dirham, sisanya belikan kapak, lalu gunakan ia untuk bekerja”

Demikianlah, ketika syariat Islam mewajibkan seseorang untuk memberi nafkah kepada diri dan keluarganya, maka syariat Islam pun mewajibkan negara untuk menyediakan lapangan pekerjaan. Dengan cara ini, setiap orang akan produktif sehingga kemiskinan dapat teratasi.

Penyediaan Layanan Pendidikan

Masalah kemiskinan sering muncul akibat rendahnya kualitas sumber daya manusia, baik dari sisi kepribadian maupun keterampilan. Inilah yang disebut dengan kemiskinan kultural. Masalah ini dapat diatasi melalui penyediaan layanan pendidikan oleh negara. Hal ini dimungkinkan karena pendidikan dalam Islam mengarah pada dua kualifikasi penting, yaitu terbentuknya berkepribadian Islam yang kuat, sekaligus memiliki keterampilan untuk berkarya.

Syariat Islam telah mewajibkan negara untuk menyediakan layanan pendidikan secara cuma-cuma kepada rakyat. Sebab, pendidikan memang merupakan kebutuhan dasar bagi setiap individu rakyat. Layanan pendidikan ini akan meningkatkan kualitas sumber daya manusia, dan selanjutnya akan mewujudkan individu-individu yang kreatif, inovatif, dan produktif. Dengan demikian, kemiskinan kultural akan dapat teratasi.

Keberhasilan Islam dalam Mengatasi Kemiskinan

Solusi yang ditawarkan Islam dalam mengatasi kemiskinan, sebagimana yang telah diuraikan di atas, bukanlah sesuatu yang menarik sebatas dalam tataran konsep semata. Perjalanan panjang sejarah kaum muslim, membuktikan bahwa solusi tersebut benar-benar dapat realisasikan. Yaitu ketika kaum muslim hidup di bawah naungan Negara Khilafah yang menerapkan Islam secara kaffah.

Dalam kitab al-Amwaal karangan Abu Ubaidah, diceritakan bahwa Khalifah Umar bin Khathab pernah berkata kepada pegawainya yang bertugas membagikan shadaqah, “Jika kamu memberikan, maka cukupkanlah”, selanjutnya beliau berkata lagi,“Berilah mereka itu sedekah berulangkali sekalipun salah seorang di antara mereka memiliki seratus unta”.[6] Beliau menerapkan politik ekonomi yang memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan primer rakyat. Beliau mengawinkan kaum muslim yang tidak mampu; membayar utang-utang mereka, dan memberikan biaya kepada para petani agar mereka menanami tanahnya.

Kodisi politik seperti ini terus berlangsung hingga masa Daulah Umayah di bawah pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Pada saat itu, rakyat sudah sampai pada taraf hidup ketika mereka tidak memerlukan bantuan harta lagi. Pada tahun kedua masa kepemimpinannya, Umar bin Abdul Aziz menerima kelebihan uang Baitul Mal secara berlimpah dari gubernur Irak. Beliau lalu mengirim surat kepada gubernur tersebut,“Telitilah, barang siapa berutang, tidak berlebih-lebihan dan foya-foya, maka bayarlah utangnya”. Kemudian, gubernur itu mengirim jawaban kepada beliau,“Sesungguhnya aku telah melunasi utang orang-orang yang mempunyai tanggungan utang, sehingga tidak ada seorang pun di Irak yang masih mempunyai utang, maka apa yang harus aku perbuat terhadap sisa harta ini?” Umar bin Abdul Aziz mengirimkan jawaban, “Lihatlah setiap jejaka yang belum menikah, sedangkan dia menginginkan menikah, kawinkanlah dia dan bayar mas kawinnya”. Gubernur itu mengirimkan berita lagi bahwa dia sudah melaksanakan semua perintahnya, tetapi harta masih juga tersisa. Selanjutnya, Umar bin Abdul Aziz mengirimkan surat lagi kepadanya, “Lihatlah orang-orang Ahlu adz-Dzimmah[7] yang tidak mempunyai biaya untuk menanami tanahnya, berilah dia apa-apa yang dapat menyejahterakannya.” Dalam kesempatan lain, Umar bin Abdul Aziz memerintahkan pegawainya untuk berseru setiap hari di kerumunan khalayak ramai, untuk mencukupi kebutuhannya masing-masing. “Wahai manusia! Adakah di antara kalian orang-orang yang miskin? Siapakah yang ingin kawin? Ke manakah anak-anak yatim?” Ternyata, tidak seorang pun datang memenuhi seruan tersebut.[8]

Jaminan pemenuhan kebutuhan hidup ini, tidak hanya diberikan kepada kaum muslim, tetapi juga kepada orang nonmuslim. Dalam hal ini, orang-orang nonmuslim yang menjadi warga negara Daulah Khilafah, mempunyai hak yang sama dengan orang muslim, tanpa ada perbedaan. Sebagai contoh, dalam akad dzimmah yang ditulis oleh Khalid bin Walid untuk menduduk Hirah di Irak yang beragama Nasrani, disebutkan: “Saya tetapkan bagi mereka, orang yang lanjut usia yang sudah tidak mampu bekerja atau ditimpa suatu penyakit, atau tadinya kaya, kemudian jatuh miskin, sehingga teman-temannya dan para penganut agamanya memberi sedekah; maka saya membebaskannya dari kewajiban membayar jizyah. Untuk selanjutnya dia beserta keluarga yang menjadi tanggungannya, menjadi tanggungan Baitul Mal kaum muslim.”[9] Peristiwa ini terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq r.a.

Umar bin Khatab r.a. pernah menjumpai seorang Yahudi tua yang sedang mengemis. Ketika ditanyakan kepadanya, ternyata usia tua dan kebutuhan telah mendesaknya untuk berbuat demikian. Umar segera membawanya kepada bendahara Baitul Mal dan memerintahkan agar ditetapkan bagi orang itu, dan orang-orang seperti dia, sejumlah uang dari Baitul Mal yang cukup baginya dan dapat memperbaiki keadaannya. Umar berkata, “Kita telah bertindak tidak adil terhadapnya, menerima pembayaran jizyah darinya kala dia masih muda, kemudian menelantarkannya kala dia sudah lanjut usia.[10]

Demikianlah beberapa gambaran sejarah kaum muslim, yang menunjukkan betapa Islam yang mereka terapkan ketika itu benar-benar membawa keberkahan dan kesejahteraan hidup. Bukan hanya bagi umat muslim tapi juga bagi umat nonmuslim yang hidup di bawah naungan Islam.

Khatimah

Islam bukanlah agama ritual semata, melainkan sebuah ideologi. Sebagai sebuah ideologi yang sahih, tentu Islam memiliki cara-cara yang lengkap untuk mengatasi berbagai problem manusia, termasuk problem kemiskinan. Dari pembahasan ini, tampak bagaimana keandalan Islam dalam mengatasi problem kemiskinan. Apabila saat ini kita menyaksikan banyak kemiskinan yang justru melanda umat Islam, hal itu disebabkan mereka tidak hidup secara Islam. Sistem hidup selain Islamlah (Kapitalisme, Sosialisme/Komunisme) yang mereka terapkan saat ini, sehingga meskipun kekayaan alamnya melimpah, tetap saja hidup dalam kemiskinan. Allah Swt. berfirman:

]وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى[

“Barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka baginya penghidupan yang sempit dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta” (QS Thahaa [20]: 124).


[1] HR. Muslim, Ahmad, dan Tirmidzi dari Abu Hurairah

[2] Taqiyuddin an-Nabhani, Nidzamul Iqtishadi fil Islam,. Daarul Ummah, Cetakan ke-4, 1990, hal. 210

[3] Al-Maliki, Abdurahman., as-Siyasatu al-Iqtishadiyahtu al-Mutsla, hal. 176. 1963

[4] Rasulullah bersabda: “Manusia berserikat dalam tiga perkara, yaitu air, padang rumput, dan api”

[5] Rasulullah bersabda: “Tidak ada pagar pembatas kecuali bagi Allah dan Rasul-Nya” Artinya tidak ada hak bagi seorang pun untuk membuat batas atau pagar atas segala sesuatu yang diperuntukkan bagi masyarakat.

[6] Abdurrahman al-Bagdadi, Ulama dan Penguasa di Masa Kejayaan dan Kemunduran, Gema Insani Press, Jakarta, 1988, hal. 38.

[7] Orang non-Muslim yang hidup di bawah naungan Negara Khilafah.

[8] Ibid. hal. 39

[9] Diriwayatkan dari Abu Yusuf dalam kitabnya al-Kharaj, hal. 144.

[10] Ibid, hal. 126

Minggu, 03 Mei 2009

Koreksi Terhadap Partai Islam

Pesta demokrasi memilih anggota legislatif telah usai. Partai Demokrat, Partai Golkar, dan PDIP , partai yang dikenal sekuler, berdasarkan quick count meraih suara terbanyak. Sebaliknya, partai Islam belum mendapat suara mayoritas yang menyakinkan. Hal ini memunculkan tudingan syariah Islam yang ditawarkan parpol Islam tidak laku.

Adalah penting untuk melakukan koreksi internal tentang ini. Kemungkinan pertama, seruan syariah Islam masih belum optimal dilakukan oleh partai Islam-partai Islam. Kampanye penegakan syariah Islam seharusnya tidak hanya dilakukan secara intensif menjelang pemilu saja , tapi harus hari per hari bahkan menit per menit. Harus dilakukan secara massif dan terbuka di tengah-tengah masyarakat.

Perkara lain, syariah Islam yang disampaikan oleh partai-partai Islam belum utuh. Tergambar ditengah masyarakat seakan-akan syariah Islam itu hanya potong tangan , rajam, kewajiban pakai kerudung atau poligami saja. Seharusnya syariah Islam, disamping perkara diatas, harus disampaikan lebih komprehensif.

Adalah penting menjelaskan syariah Islam akan menjamin kebutuhan pokok tiap individu rakyat (sandang, pangan, dan papan), pendidikan dan kesehatan gratis untuk seluruh rakyat. Termasuk menjelaskan dengan syariah Islam, kekayaan alam kita yang termasuk dalam katagori milkiyah ‘amah (pemilikan umum) seperti emas, minyak, gas, batubara merupakan milik rakyat.Negara harus mengelolanya dengan baik dan hasilnya akan diberikan untuk kepentingan rakyat.

Sementara kepada kepada non muslim perlu dijelaskan bahwa jaminan diatas berlaku bagi seluruh rakyat, baik muslim maupun non muslim yang menjadi warga negara Daulah Islam. Syariah Islam akan membolehkan mereka beribadah, berpakaian, makan dan minum berdasarkan agama mereka.

Sangat disayangkan, kalau ada partai Islam yang terkesan justru menghindar dari seruan terbuka terhadap syariah Islam dengan alasan masyarakat belum siap. Bagaimana mungkin masyarakat bisa siap atau menerima kalau tidak ada penyadaran syariah Islam secara terbuka ditengah masyarakat. Memang awalnya terjadi pro dan kontra. Perkara biasa terjadi kalau sebuah ide masih belum dimengerti. Justru lewat perdebatan itulah kita bisa menjelaskan bagaimana sesungguhnya syariah Islam itu.

Faktor lain yang mungkin menjadi penyebab adalah kepercayaan masyarakat terhadap partai Islam masih rendah. Salah satunya adalah adalah sikap pragmatisme yang sekedar demi meraih kekuasan dengan cara menghalalkan segala cara. Pragmatisme menjadi virus mematikan dari sistem demokrasi yang menyebabkan terjadi distorsi idealisme dan sikap plin-plan.

Menyatakan pilihlah partai Islam, kalau tidak kelompok sekuler dan non muslim akan berkuasa, tapi disisi lain partai Islam justru berkoalisi dengan partai sekuler dan non muslim atau menjadikan non muslim sebagai caleg. Atau malah mendukung dan berkoalisi untuk mendukung calon pemimpin dari partai sekuler . Sikap plin-plan pun tampak. Awalnya getol menyatakan presiden wanita haram, kemudian berubah setelah peta politik berganti.

Sistem demokrasi yang bergelimang dengan syahwat harta dan wanita tak jarang membuat anggota parpol Islam tersungkur. Terlibat korupsi, suap menyuap, mahar politik dan money politic lainnya. Meskipun dilakukan segelintir oknum, namun, karena yang melakukannya adalah anggota papol Islam , isu ini menjadi senjata yang mematikan. Masyarakat melihat partai Islam tidak jauh berbeda dengan partai sekuler lainnya.

Catatan kedua, kalaupun partai politik Islam yang menyerukan syariat Islam dalam pemilu kemarin, kalah, bukanlah berarti ideologi Islam dan syariat Islam itu tidak perlu atau tidak wajib bagi kaum muslimin. Dukungan mayoritas masyarakat pada sebuah ide atau pemimpin tertentu bukanlah menunjukkan ide tersebut benar atau pemimpin itu baik. Risalah Islam yang dibawa oleh Rosulullah SAW pada awalnya juga ditolak oleh masyarakat Makkah yang jahiliyah. Rosulullah juga dihinakan. Tentu bukan berarti risalah Islam dan Rosululullah SAW keliru. Karena itu seyogyanya meskipun belum menang , perjuangan untuk menegakkan syariah Islam harus terus dilanjutkan oleh partai-partai Islam, tidak boleh berhenti.

Yang menarik, meskipun dukungan terhadap parpol Islam belum begitu menguat, kesadaran terhadap syariah Islam menunjukkan trend yang meningkat. Antara lain tercermin dari berbagai survey yang dilakukan oleh beberapa lembaga seperti PPIM UIN Syarif Hidayatullah (tahun 2001 dan 2002), Survey Roy Morgan Research (Juni 2008) , dan SEM Institute (2008).

Artinya, ada peran gerakan Islam yang berjuang bukan lewat pemilu tapi bergerak langsung di tengah masyarakat yang gencar mengkampanyekan penerapan syariah Islam dan Khilafah. Tentu saja tidak bisa dikatakan telah berhasil secara sempurna. Perjuangan yang terus menerus , istiqomah , dengan tetap berpegang teguh pada thoriqoh (metode) Rosulullah saw, akan menghantarkan kepada keberhasilan dakwah yang sejati. Masyarakat yang sadar akan kewajiban syariah Islam bergerak bersama dengan dukungan ahlul quwwah (yang memiliki kekuatan politik riil seperti militer). Dua prasyarat ini (kesadaran masyarakat dan dukungan ahlul quwwah) menjadi kunci kemenangan tegaknya Daulah Islam .
Dari Abu Musa ra. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw bersabda:

‏(( فُكُّوا الْعَانِيَ ‏ ‏يَعْنِي الْأَسِيرَ وَأَطْعِمُوا الْجَائِعَ وَعُودُوا الْمَرِيضَ ))

“Bebaskan al-‘âniya, yakni al-asîr (tahanan), berilah makan orang yang lagi kelaparan, dan kunjungilah orang yang sedang sakit”. (HR. Bukhari)

Di dalam Fathul Bâriy bi Syarh Shahîh al-Bukhâriy dikatakan “Bebaskan al-‘âniya, yakni al-asîr (tahanan)”. Ibnu Baththal berkata: Membebaskan tahanan itu hukumnya wajib kifayah. Dan demikian pula dengan pendapat jumhur ulama (mayoritas ulama). Sementara Ishaq bin Rahwaihin berkata: Biaya pembebasan itu diambil dari baitul Mal.

Senada dengan pendapat itu juga diriwayatkan dari Malik. Sedang Ahmad berkata: Dibebaskan dengan kepala (ditukar dengan sesama tawanan). Adapun dengan harta, maka aku tidak mengetahuinya. Sekiranya kaum Muslim memiliki tawanan dan kaum musyrik juga memiliki tawanan, lalu mereka sepakat untuk membebaskannya, maka ditentukan (ketentuan pembebasannya). Namun tidak boleh membebaskan tawanan kaum musyrik dengan harta.

Kita semua tahu pokok pikiran yang terkandung dalam hadits ini, yaitu Rasulullah Saw mendorong kita agar membebaskan tawanan, memberi makan yang lapar, dan mengunjungi yang sakit. Namun, telah lama bersarang dalam pikiran kita yaitu rasa pedih yang menyakitkan melihat kondisi umat Islam yang membutuhkan pembebasan. Sebab, umat Islam saat ini sedang dipenjara, kelaparan, dan sakit.

Mereka dipenjara karena mereka dipaksa untuk tunduk dan berhukum dengan sistem kufur, baik secara militer, politik, ekonomi, pemikiran, maupun informasi; mereka sedang lapar sebab kekayaan alam (SDA) yang dikaruniakan Allah kepada umat Islam itu telah dirampas, sehingga kekayaan alam itu sekarang menjadi harta benda yang dimiliki dan dinikmati oleh kaum kafir penjajah; dan mereka sedang sakit sebab semakin memburuknya penyakit Kapitalisme dalam diri mereka.

Namun mengapa aktivitas kita sekarang tidak kita fokuskan saja dalam rangka untuk membebaskan umat Islam dari penjara, kelaparan, dan sakit yang sedang menyelimuti kehidupan mereka?! Dan kita tidak hanya berhenti sampai di sini saja, akan tetapi kita akan berusaha dan terus bekerja untu membebaskan dunia setelah kita berhasil membebaskan diri kita sendiri?! Wallahu a’lam bish-shawab.

Senin, 23 Februari 2009

BERORGANISASI ‘SEBUAH UTOPIA’

Jika diibaratkan kita sedang berlayar ditengah lautan kemudian diombang- ambingkan oleh debur ombak dan badai, sementara kompas yang menjadi satu- satunya penunjuk arah rusak, maka kita akan terombang- ambing tanpa tahu kemana kita berjalan dan dimana kita akan berhenti. Bahkan lebih parah dari itu, kita akan ditelan air laut dan tubuh kita terkoyak oleh liarnya dunia bawah laut.

Begitu juga dengan organisasi, ketika organisasi tidak mempunyai tujuan yang jelas dan strategi yang tepat, kita akan terjebak pada rutinitas sehingga organisasi akan mengalami stagnasi/ kejumudan gerakan. Bukannya karya yang akan kita dapatkan, tapi lelah, capek, dan kebingungan yang akan kita rasakan. Tentunya teman- teman tidak mau kalau ini semua terjadi.

44 tahun (1964- 2008) bukan waktu yang sebentar bagi perjalanan sebuah organisasi, berbagai macam gejolak problematika dan dinamika pasti pernah dirasakan. Tapi adakah jaminan kita bisa mengambil pelajaran dan hikmah dari itu semua? Adakah perubahan yang terjadi dalam kepemimpinan kita? Ataukah kita hanya sebagai ahli waris yang cuma bisa meneruskan, tapi tidak bisa berbuat lebih baik?

Pengalaman adalah guru terbaik, dan terjatuh pada lubang yang sama adalah perbuatan yang bodoh. Jika kita peka dengan keadaan, sebenarnya ada banyak pelajaran yang bisa kita ambil dari rutinitas pergantian kepemimpinan beserta model kepemimpinan yang mengiringinya. Jika berhasil maka kita tiru dan kembangkan, tapi jika gagal, strategi apa yang harus kita benahi dan kita rubah.

Jika kita tidak mau tergelincir pada lobang yang sama, maka kita perlu melakukan identifikasi dan menentukan solusi yang tepat sasaran.

Setidaknya ada lima masalah yang bisa menghambat kemajuan organisasi.

1. Kekurang pahaman anggota terhadap ideologi muhammadiyah.

2. Militansi kader.

3. Program yang tidak fungsional/ tidak sesuai dengan need assessment.

4. Ukhuwah/ hubungan emosinal yang rendah.

5. Kaderisasi.

Untuk itu ada 5 (lima) permasalahan yang harus kita garap:

1. Penanaman ideology.

2. Menumbuhkan Militansi kader.

3. Mengeratkan ukhuwah.

4. Menumbuhkan kesadaran pentingnya intelektualitas.

5. Kaderisasi yang bisa menanamkan rasa memiliki terhadap IMM.

Dari pemaparan diatas, saya merumuskan visi dan misi:

VISI :

Membangun kader IMM yang berideologi, militan dan berpengatahuan yang dilandasi rasa ukhuwah antarkader dengan semangat iman dan taqwa

MISI :

1. Peneguhan ideologi dalam diri kader

2. Membangun militansi kader

3. Meningkatkan ukhuwah antar kader

4. Mengembangkan ilmu pengetahuan

5. Menciptakan kader yang memiliki integritas intelektual dan moral

Tanggapan teman- teman terhadap masalah ini?

Solusi dari teman- teman?